1/29/2014

harapan?



Apakah kalian percaya tentang keajaiban? Apakah kalian meyakini akan sebuah harapan?

Ya, pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan mengawali sebuah ceritaku hari ini. Aku punya sebuah kisah tentang seorang ksatria yang sangat biasa saja. Dia tidak mempunyai perbedaan yang mencolok dari ksatria lainnya. Dia pun hanya diposisikan di barisan depan saat perang. Tentunya kalian tau barisan depan hanya untuk ksatria-ksatria yang kemampuannya biasa saja. Teknik bertarungnya sangat biasa dan tak terlihat hebat. Tapi dia memiliki ambisi yang sangat besar, dia ingin mengalahkan panglima musuh. Dia bukan orang yang istimewa dan dia tidak pernah bercerita kepada seorang pun tentang ambisinya ini. Namun, bukan berarti dia Cuma sekedar berangan. Setiap ada kesempatan turun perang, ia mengeluarkan segenap usaha ditambah ambisinya untuk mencapai tempat panglima musuh. Dia selalu berhasil membantai barisan depan lawan, bahkan sampai beberapa orang hebat pernah dibunuhnya. Namun, kemampuannya tak pernah disadari oleh rekan-rekannya. Ketika dia mendekati panglima musuh dan berniat untuk membunuhnya selalu saja atasan-atasannya yang langsung maju dan mengambil alih semuanya sehingga semua kerja keras yang dia lakukan tak pernah berharga, justru atas-atasanya ini yang mendapat penghargaan atas jasa ksatria ambisius ini.
Suatu hari ksatria ini berfikir, sistem dalam pasukan ini sangat buruk untuk dirinya. Apapun yang dia berikan selalu saja tak dihargai sekitarnya. Untungnya dia bukan orang yang senang dipuji. Dia bukan orang yang suka diagung-agungkan seperti para raja. Dia selalu ingin jadi ksatria biasa yang bisa membunuh panglima musuh dengan pedangnya. Sehingga dia tak terlalu keberatan dengan sistem ini. Tapi, dia memilik ambisi yang sangat kuat itu. Dia ingin mendapatkannya.
Beberapa hari berikutnya datang berita bahwa akan ada serangan besar-besaran. Para ksatriapun dipersiapkan, termasuk ksatria ini yang diberikan latihan lebih karena akan berada dibaris depan. Semuanya telah siap bertempur. Ditengah gurun gersang mereka berbaris menanti kedatangan musuh, dengan gagahnya mereka berdiri seolah tak ada rasa takut akan kematian. Begitupun ksatria ini, dengan segenap ambisi ingin membunuh panglima musuh. Dia sangat amat bersemangat hari itu. Dia orang pertama yang melihat kedatangan musuh, tanpa menunggu aba-aba dari komandannya dia langsung berlari kencang dengan semangat yang berapi-api kearah musuh dan diikuti oleh ksatria lainnya. Hantaman perisai dan sayatan dari pedang musuh tak membuat ksatria ini lumpuh, justru dia semakin menggila hingga menghabisi pasukan lawan dengan buas. Hingga pasukan musuh lumpuh, dan hanya tinggal beberapa orang yang tersisa dibarisan depan ksatria ini. Dia belum merasa puas karena belum bertemu dengan sang panglima musuh. Akhirnya dia melanjutkan perangnya ke depan. Berperang bersama atasan-atasannya. Walau diperintahkan untuk mundur, tapi dia tak mau mundur dan terus maju bersama para panglima-panglima hebat dari pasukannya. Hingga dia menjadi satu-satunya ksatria baris depan yang bertempur bersama para panglima mengalahkan lawan-lawannya. Para panglima dari pasukannya pun semakin letih menghadapi jumlah musuh yang tak kunjung habis. Beberapa mulai gugur, tapi dia tidak. Dia masih segar dan haus akan ambisinya. Hingga tersisa beberapa pasukan, dia melihat sang panglima musuh yang tengah berdiri menanti kedatangannya. Seolah belum bertempur, semangatnya kembali berkobar, luka-lukanya tak terasa lagi, ototnya justru semakin mengencang melihat ambisinya sudah ada di depan mata. Dia lalu melawan sang panglima ini dengan beringas. Namun apa daya, kemampuannya hanya sebatas ksatria barisan depan. Dia tak mampu membunuh sang panglima musuh. Justru sebilah pedang yang sangat tajam kokoh tertancap ditubuhnya, pedang ini milik sang panglima. Keadaan ini dimanfaatkan oleh pimpinannya untuk membunuh panglima musuh yang saat itu tak mempunyai pedang. Akhirnya pasukan musuh bisa dikalahkan lalu pasukan ksatria ini pulang dan merayakan kemenangan mereka. Mereka melupakan sang ksatria, mereka meniggalkannya di tengah gurun gersang. Ksatria ini belum tamat, berkat dia pasukannya menang. Karena pedang panglima musuh yang tertancap di tubuhnya itu yang membuat musuh kalah. Dia tidak berhasil menggapai ambisinya untuk membunuh sang panglima. Dia bernasib buruk karena sebuah harapan. Kini dia di tengah gurun dengan pedang yang tertusuk ditubuhnya. Jika didiamkan pedang ini lambat laun akan menembus jatungnya dan dia akan mati. Jika dicabut oleh dirinya sendiri, maka pedang ini akan merobek organ-organ tubuh lainnya dan belum tentu dia selamat. Tapi dia masih bisa berharap bukan? Dia bisa berharap pedang itu berubah menjadi air yang sangat sejuk dan menyembuhkan. Tapi dia seorang ksatria, yang untuk menceritakan ambisi ke temannya pun dia segan bagaimana dia bisa meminta kepada pedang untuk berubah menjadi air? Ini konyol baginya. Dia hanya berfikir dengan keras. Menduga-duga hal yang akan terjadi. Harapan untuk membunuh sang panglima ini yang menyebabkan dia begini, dan sekarang dia kembali harus berharap agar pedang yang tajam dan kokoh ini berubah menjadi air yang sejuk dan menyembuhkan? Ah!! Ini omong kosong!! Mana mungkin batang besi yang dingin itu menjadi kesejukan yang menyembuhkan? Tidak mungkin!! Dia hanya berteriak kata-kata seperti itu. Namun didalam hati kecilnya masih tersisa harapan mustahil itu, dia masih berharap pedang itu berubah jadi air tanpa pernah memberitahukan sang pedang. Harapan itu kini tertutup oleh logika dan akal sehatnya.
Aku masih belum tahu apa yang terjadi pada ksatria ini, tak ada yang dapat aku simpulkan dari kisah ini. Aku pun seperti ksatria ini, berharap namun tak terlihat. Aku hanya memberikan teka-teki atas semua harapanku dan kembali berharap kepekaanmu memecahkannya. Namun, itu sama mustahilnya seperti ksatria yang mengaharapkan pedang yang kokoh dan tajam menjadi air yang sejuk menyembuhkan. Aku memendam harapan ini kepadamu seperti ksatria yang tertusuk pedang ditubuhnya, semakin ku pendam semakin harapan ini akan membunuhku. Seketika aku menariknya, pedang ini akan merusak semuanya dan belum tentu aku hidup. Ya, pedang yang dingin, tajam, dan kokoh ini adalah kamu. Kamu yang telah tertancap dalam diriku. Sangat sulit untuk melepaskan pedang ini. Aku hanya selamat jika kamu menjadi air. Namun aku tak akan pernah bisa meminta secara terang-terangan karena aku adalah ksatria. Ksatria yang mengabaikan sakitnya ini demi sebuah harapan. Aku masih menunggu harapan ini nyata sambil berharap (lagi) tidak ada orang yang tiba-tiba datang dan mencabut pedang ini sehingga aku terbunuh.

                                                                                                                                                                   

2 komentar: