Sebuah harapan muncul di waktu yang tepat. Ketika hati ini
sudah tidak berani bergantung kepada siapapun. Kau datang menawarkan jutaan
warna, menimpa kebiruan yang telah lama aku rasakan. Namun itu semua masih
sebatas tawaran kan? atau hanya aku saja yang menganggapnya?
Akal sehat ini bertanya kepada hati, “apa yang paling
menyakitkan?” hati menjawab, “ketika aku memilih seseorang, namun orang itu
memilih orang lain” akal kembali bertanya, “lalu? Ada lagi kah?” “ada, ketika
aku memilih seseorang, namun orang itu memilih orang lain yang menyiakannya”. Aku
tidak tahu mana yang salah diantara kita. Aku tidak berani menyimpulkan siapa
yang salah berjuang. Aku memang terlalu pengecut. Aku takut hanya mendapatkan
kecewa, tapi aku tak mau sia-sia dengan semua perjuanganku untukmu. Kau juga
begitu kan? kau tak mau kehilangan aku, namun tak berani melupakan dia. Itu adil
untukmu dan dia, namun tidak untukku.
Kita bagai sebuah rantai makanan. Aku hanya menjadi produsen
yang menyediakan kasih sayang untuk mu. Yang kau ambil dengan cuma-cuma
sementara itu kau sediakan kasih sayang mu untuknya. Kini aku tahu rasanya menjadi
penyedia. Namun aku tak sepenuhnya sama dengan produsen. Produsen sangat
diperlukan, tanpanya tidak ada kehidupan. Tapi aku? Mungkin tanpa kehadiranku
kau justru semakin bahagia. Semakin bisa memberikan kasih mu pada dia. apa aku
pergi saja?
Aku bukan seorang yang terbiasa menulis, apalagi menulis
tentang perasaanku. Tapi entah mengapa malam ini seolah aku berlagak layaknya
pujangga yang tak henti berkarya. Mungkin karena emosi ini rsudah penuh, tak
tahu harus kemana ku membuangnya. Aku tak pernah mengira semuanya akan jadi
seperti ini. Dulu aku mengenal cinta, tapi tak pernah serumit ini. Apa aku
terlalu mengikuti hati? Seolah aku menjadi budak atas rasa sayang ini. Aku juga
pernah kecewa bahkan sampai terluka dan aku tak berani mengingatnya lagi. Mengingat
sakitnya saja aku pilu, bagaimana jika harus merasakannya lagi. Kini aku ingin
menyebrang ke lain pulau, namun tersapu ombak dan terombang-ambing ditengah
lautan. Tak bisa kembali dan tak mampu melanjutkan. Hanya dapat menunggu sebuah
bantuan sambil merasa kesakitan.
Sakit mungkin akan jadi porsi wajibku kedepan nanti. Kesendirian
sudah akrab denganku. Aku pernah sendiri ketika aku belum mengenalmu. Namun kesakitan?
Aku tak berani membayangkannya. Aku lelaki yang tak terbiasa menangis, aku
lebih senang menahannya dalam batin, menyembunyikan dengan senyuman dan
merahasiakannya dengan tawa riang. Tapi akhirnya semua itu kalah dan sakitnya
justru semakin menjadi. Aku sering memikirkan caranya agar aku dapat pergi. Namun
semua tak semudah teoriku. Teori bodoh yang tercipta dari kesakitan.
Apa aku orang baik? Ya, aku baik. Aku orang yang selalu memberimu
perhatian, yang selalu berusaha ada ketika kau membutuhkanku. Namun disisi lain
aku orang jahat. Perhatian itu memang tak seharusnya kuberikan padamu. Diluar sana
ada yang seharusnya memberikan itu semua kepadamu. Itu memang sistemnya. Aku lah
si pelanggar sistem, tak mematuhi aturannya. Wajar jika aku terluka, itu
konsekuensinya. Tapi bagaimana tentang semua film yang memberikan akhir bahagia
bagi orang-orang yang membangkang? Aku selalu ingin jadi seperti itu. Ingin jadi
aktor utama bersamamu. Namun realitanya aku hanya penjadi figurannya.
Kini aku tak berani menghadapi waktu. Terlalu pedih untuk
mengetahui masa depan. Apalagi jika menyaksikanmu bahagia bersamanya. Haha aku
memang pembangkan yang terlalu pesimis. Pantas saja tak pernah jadi peran
utama. Kini aku masih terombang-ambing, berharap ada kapal yang akan membawaku
ke pelabuhan, atau jika tidak aku akan mati bersama hiu-hiu yang sedari tadi
menatapku kejam.
Nice post
BalasHapusthanks :D
Hapus