Apakah kalian percaya tentang
keajaiban? Apakah kalian meyakini akan sebuah harapan?
Ya,
pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan mengawali sebuah ceritaku hari ini. Aku punya
sebuah kisah tentang seorang ksatria yang sangat biasa saja. Dia tidak
mempunyai perbedaan yang mencolok dari ksatria lainnya. Dia pun hanya diposisikan
di barisan depan saat perang. Tentunya kalian tau barisan depan hanya untuk
ksatria-ksatria yang kemampuannya biasa saja. Teknik bertarungnya sangat biasa
dan tak terlihat hebat. Tapi dia memiliki ambisi yang sangat besar, dia ingin
mengalahkan panglima musuh. Dia bukan orang yang istimewa dan dia tidak pernah
bercerita kepada seorang pun tentang ambisinya ini. Namun, bukan berarti dia Cuma
sekedar berangan. Setiap ada kesempatan turun perang, ia mengeluarkan segenap
usaha ditambah ambisinya untuk mencapai tempat panglima musuh. Dia selalu
berhasil membantai barisan depan lawan, bahkan sampai beberapa orang hebat
pernah dibunuhnya. Namun, kemampuannya tak pernah disadari oleh rekan-rekannya.
Ketika dia mendekati panglima musuh dan berniat untuk membunuhnya selalu saja
atasan-atasannya yang langsung maju dan mengambil alih semuanya sehingga semua
kerja keras yang dia lakukan tak pernah berharga, justru atas-atasanya ini yang
mendapat penghargaan atas jasa ksatria ambisius ini.
Suatu hari
ksatria ini berfikir, sistem dalam pasukan ini sangat buruk untuk dirinya. Apapun
yang dia berikan selalu saja tak dihargai sekitarnya. Untungnya dia bukan orang
yang senang dipuji. Dia bukan orang yang suka diagung-agungkan seperti para
raja. Dia selalu ingin jadi ksatria biasa yang bisa membunuh panglima musuh
dengan pedangnya. Sehingga dia tak terlalu keberatan dengan sistem ini. Tapi,
dia memilik ambisi yang sangat kuat itu. Dia ingin mendapatkannya.
Beberapa hari
berikutnya datang berita bahwa akan ada serangan besar-besaran. Para ksatriapun
dipersiapkan, termasuk ksatria ini yang diberikan latihan lebih karena akan
berada dibaris depan. Semuanya telah siap bertempur. Ditengah gurun gersang
mereka berbaris menanti kedatangan musuh, dengan gagahnya mereka berdiri seolah
tak ada rasa takut akan kematian. Begitupun ksatria ini, dengan segenap ambisi
ingin membunuh panglima musuh. Dia sangat amat bersemangat hari itu. Dia orang
pertama yang melihat kedatangan musuh, tanpa menunggu aba-aba dari komandannya
dia langsung berlari kencang dengan semangat yang berapi-api kearah musuh dan
diikuti oleh ksatria lainnya. Hantaman perisai dan sayatan dari pedang musuh
tak membuat ksatria ini lumpuh, justru dia semakin menggila hingga menghabisi
pasukan lawan dengan buas. Hingga pasukan musuh lumpuh, dan hanya tinggal
beberapa orang yang tersisa dibarisan depan ksatria ini. Dia belum merasa puas
karena belum bertemu dengan sang panglima musuh. Akhirnya dia melanjutkan
perangnya ke depan. Berperang bersama atasan-atasannya. Walau diperintahkan
untuk mundur, tapi dia tak mau mundur dan terus maju bersama para panglima-panglima
hebat dari pasukannya. Hingga dia menjadi satu-satunya ksatria baris depan yang
bertempur bersama para panglima mengalahkan lawan-lawannya. Para panglima dari
pasukannya pun semakin letih menghadapi jumlah musuh yang tak kunjung habis. Beberapa
mulai gugur, tapi dia tidak. Dia masih segar dan haus akan ambisinya. Hingga tersisa
beberapa pasukan, dia melihat sang panglima musuh yang tengah berdiri menanti
kedatangannya. Seolah belum bertempur, semangatnya kembali berkobar,
luka-lukanya tak terasa lagi, ototnya justru semakin mengencang melihat
ambisinya sudah ada di depan mata. Dia lalu melawan sang panglima ini dengan
beringas. Namun apa daya, kemampuannya hanya sebatas ksatria barisan depan. Dia
tak mampu membunuh sang panglima musuh. Justru sebilah pedang yang sangat tajam
kokoh tertancap ditubuhnya, pedang ini milik sang panglima. Keadaan ini
dimanfaatkan oleh pimpinannya untuk membunuh panglima musuh yang saat itu tak
mempunyai pedang. Akhirnya pasukan musuh bisa dikalahkan lalu pasukan ksatria
ini pulang dan merayakan kemenangan mereka. Mereka melupakan sang ksatria,
mereka meniggalkannya di tengah gurun gersang. Ksatria ini belum tamat, berkat
dia pasukannya menang. Karena pedang panglima musuh yang tertancap di tubuhnya itu
yang membuat musuh kalah. Dia tidak berhasil menggapai ambisinya untuk membunuh
sang panglima. Dia bernasib buruk karena sebuah harapan. Kini dia di tengah
gurun dengan pedang yang tertusuk ditubuhnya. Jika didiamkan pedang ini lambat
laun akan menembus jatungnya dan dia akan mati. Jika dicabut oleh dirinya
sendiri, maka pedang ini akan merobek organ-organ tubuh lainnya dan belum tentu
dia selamat. Tapi dia masih bisa berharap bukan? Dia bisa berharap pedang itu
berubah menjadi air yang sangat sejuk dan menyembuhkan. Tapi dia seorang
ksatria, yang untuk menceritakan ambisi ke temannya pun dia segan bagaimana dia
bisa meminta kepada pedang untuk berubah menjadi air? Ini konyol baginya. Dia
hanya berfikir dengan keras. Menduga-duga hal yang akan terjadi. Harapan untuk
membunuh sang panglima ini yang menyebabkan dia begini, dan sekarang dia
kembali harus berharap agar pedang yang tajam dan kokoh ini berubah menjadi air
yang sejuk dan menyembuhkan? Ah!! Ini omong kosong!! Mana mungkin batang besi
yang dingin itu menjadi kesejukan yang menyembuhkan? Tidak mungkin!! Dia hanya
berteriak kata-kata seperti itu. Namun didalam hati kecilnya masih tersisa
harapan mustahil itu, dia masih berharap pedang itu berubah jadi air tanpa
pernah memberitahukan sang pedang. Harapan itu kini tertutup oleh logika dan
akal sehatnya.
Aku masih
belum tahu apa yang terjadi pada ksatria ini, tak ada yang dapat aku simpulkan
dari kisah ini. Aku pun seperti ksatria ini, berharap namun tak terlihat. Aku hanya
memberikan teka-teki atas semua harapanku dan kembali berharap kepekaanmu
memecahkannya. Namun, itu sama mustahilnya seperti ksatria yang mengaharapkan
pedang yang kokoh dan tajam menjadi air yang sejuk menyembuhkan. Aku memendam
harapan ini kepadamu seperti ksatria yang tertusuk pedang ditubuhnya, semakin
ku pendam semakin harapan ini akan membunuhku. Seketika aku menariknya, pedang
ini akan merusak semuanya dan belum tentu aku hidup. Ya, pedang yang dingin,
tajam, dan kokoh ini adalah kamu. Kamu yang telah tertancap dalam diriku. Sangat
sulit untuk melepaskan pedang ini. Aku hanya selamat jika kamu menjadi air. Namun
aku tak akan pernah bisa meminta secara terang-terangan karena aku adalah
ksatria. Ksatria yang mengabaikan sakitnya ini demi sebuah harapan. Aku masih
menunggu harapan ini nyata sambil berharap (lagi) tidak ada orang yang
tiba-tiba datang dan mencabut pedang ini sehingga aku terbunuh.
ah girar ternyataaaa ahahahaha
BalasHapushaha apa congg :D
Hapus